Rabu, 29 Juli 2009

TANTANGAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM DALAM PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI DAN UMKM

Oleh : Pristiyanto[1]

1. Latar Belakang

Secara legal formal sistem perekonomian Indonesia disusun berdasarkan pada UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi : ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” dan ayat (4) amandemen yang menyebutkan : ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Implementasi pasal 33 UUD’45 sepanjang perjalanan bangsa telah mengalami pasang surut sesuai dengan persepsi, interpretasi dan kondisi politik pembangunan bangsa. Pada era orde baru menggunakan pendekatan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang diintegrasikan dengan keamanan dan pemerataan, selanjutnya dikenal dengan trilogi pembangunan. Kebijakan ini melahirkan perusahaan – perusahaan besar dan konglomerasi yang bergerak dalam berbagai sektor usaha dan tidak sedikit diantara mereka menguasai aktivitas usaha dari hulu hingga hilir.

Di sisi lain usaha mikro dan kecil menegah (UMK) yang merupakan representasi dari pelaku ekonomi rakyat, berdasarkan data BPS (2008) jumlah usaha mikro 50,7 juta (98,90%) dan usaha kecil 520,2 ribu (1,01%) sehingga total UMKM mencapai 51,22 juta unit usaha atau 99,91 % dari seluruh pelaku usaha nasional, sedangkan usaha menengah jumlahnya 39,66 ribu (0,08%) dan usaha besar 4,37 ribu (0,01%). Realita menunjukkan bahwa perlakuan dan perhatian pemerintah tidak sebanding dengan fasilitas dan kemudahan yang diberikan kepada para pelaku usaha besar. Oleh karena itu kesan yang muncul adalah marjinalisasi terhadap UMK dan berdasarkan perbandingan jumlah UMK dan jumah usaha besar maka kontribusi UMK terhadap pembentukan Product Domestic Brutto (PDB) menjadi rendah, dimana 51,22 juta UMK miliki kontribusi sebesar Rp 1,979 triliun (42,13 %) dan 4,37 ribu usaha besar miliki kontribusi sebesar Rp 2,087 triliun (44,44%).

Krisis ekonomi menjadi momentum penting berbaliknya ayunan pendulum dari dominasi sektor usaha besar menuju meningkatnya peran UMK. Sektor UMK ternyata lebih tangguh menghadapi krisis dan mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. UMK juga merupakan sumber kehidupan sosial dan ekonomi dari sebagian besar rakyat Indonesia yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

Salah satu peran penting dari sektor UMK dalam perekonomian nasional adalah kemampuannya menciptakan lapangan kerja yang sangat besar mencapai 87,64 juta (93,56%) dari total pelaku usaha dan berdasarkan jumlah unit usaha dan tenaga kerja UMK maka pelaku usaha merupakan pelaku usaha yang mandiri yang dilaksanakan oleh 1-2 orang tenaga kerja per unit (tenaga kerja/unit usaha UMK = 1,7 orang/unit usaha). Peran ini bisa dipastikan akan memiliki nilai strategis manakala masalahnya dikaitkan dengan persoalan cukup pelik yang sejak lama dihadapi bangsa Indonesia dan tidak pernah kunjung terselesaikan oleh pemerintah yakni pengangguran dan kemiskinan. Oleh karenanya, apabila seluruh komponen bangsa utamanya pemerintah tidak melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam mengembangkan sektor UMK, maka dapat dipastikan akan menjadi permasalahan sosial yang serius menjadi beban pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Mengatasi pengangguran dan kemiskinan berdasarkan pengalaman panjang selama (orde baru) ini ternyata tidak dapat diselesaikan semata-mata hanya melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi yang disandarkan pada para pelaku usaha besar. Pengalaman menunjukkan bahwa meningkatnya angka pertumbuhan ternyata tidak dengan serta merta mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hal ini berarti tidak dapat mengandalkan usaha besar saja dalam mendongkrak angka pertumbuhan yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, dan tidak dapat dijadikan sebagai pilihan satu-satunya dalam mengatasi jumlah pengangguran dan kemiskinan yang terus bertambah setiap tahunnya.

Melihat latar belakang tersebut di atas, timbul permasalahan bahwa UMK dan Koperasi yang secara kuantitas sangat besar yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi nasional, tetapi kualitasnya masih kurang memadai. Oleh karena itu harus diberdayakan dan dikembangkan menjadi UMK dan Koperasi yang tangguh agar mampu mengentaskan kemiskinan dan memperluas lapangan pekerjaan yang pada gilirannya akan dapat memantapkan perekonomian nasional.

2. Pemberdayaan Koperasi dan UMKM

Melihat kondisi, peran dan kontribusi UMK dalam perekonomian Indonesia berbagai kalangan masyarakat berharap UMK menjadi pondasi yang kuat bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Dasar pemikirannya adalah cukup rasional karena perekonomian berbasis UMK sesungguhnya lebih baik karena UMK terbukti mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap krisis, lebih banyak menyerap tenaga kerja, lebih adil dan lebih memberikan kesejahteraan kepada rakyat kecil. Munculnya pemikiran seperti itu setidak-tidaknya menjadikan sektor UMK sebagai tumpuan harapan masa depan terutama untuk memecahkan 2 (dua) masalah besar bangsa yakni pengangguran dan kemiskinan. Disamping itu, terdapat keunggulan lain dari sektor UMK ini yakni bahwa pelaku usahanya tidak hanya besar dari segi jumlah (kwantitas) karena tersebar diberbagai wilayah perdesaan hingga perkotaan dengan beragam sektor usaha, akan tetapi juga terbukti mampu memberikan penghidupan yang layak bagi orang-orang yang berkiprah didalamnya beserta dengan keluarganya.

Hal senada diungkapkan Presiden RI bahwa Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah merupakan institusi yang paling efektif memerangi kemiskinan.[2] Sementara itu Haryono Suyono memiliki pandangan bahwa sektor UMK yang bergerak dalam berbagai horizon kegiatan ekonomi khususnya di bidang manufaktur dinilai sebagai sektor terpenting dalam mengatasi pengangguran dan setengah pengangguran. Karena itu pengembangan sektor yang tersebar di seluruh negeri khususnya di perdesaan dinilai sangat baik dan strategis tidak saja untuk memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, tetapi sekaligus pula mendorong pembangunan daerah dan kawasan perdesaan di Indonesia.[3] Berdasarkan kajian dan beberapa literature menyebutkan bahwa peran UMK yang mempunyai kontribusi besar dalam menyerap tenaga kerja ternyata juga dialami di negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin.[4]

Dalam menumbuhkan kemandirian UMK, dapat diberdayakan untuk mengembangkan melalui koperasi. Sesuai dengan azasnya yaitu kebersamaan dan kerjasama, melalui koperasi, para pelaku usaha (mikro dan kecil) yang bergerak pada usaha-usaha produksi, secara bersama-sama dapat menjual produk yang dihasilkan, disamping membeli input (bahan baku) dan prasarana (alat/mesin) secara bersama-sama pula. Dalam kebersamaan itu, akan terjadi penguatan kemampuan bersaing, baik dalam hal penawaran maupun permintaan. Dengan kebersamaan itu pula, akan dapat diwujudkan economic of scale serta economic of scope yang menekan besarnya komponen biaya seperti biaya transportasi atau biaya-biaya lainnya, sehingga dapat dicapai efisiensi teknis dan ekonomis dalam kegiatan usaha yang dijalankan para anggota koperasi. Demikian pula halnya dalam aspek pembiayaan dan permodalan, para pelaku usaha dapat bergabung dalam wadah koperasi untuk membangun lembaga keuangan sendiri yang mampu memberikan pelayanan pembiayaan dan permodalan. Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah merupakan salah satu pilar ekonomi yang kinerjanya terus menerus mengalami pasang dan surut. Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala usaha mikro dan kecil, karena itu perlu dukungan pemberdayaan dan pengembangan khususnya dalam rangka mendorong praktek koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa potensi dan kontribusi UMK dan koperasi dalam peningkatan pembangunan ekonomi nasional tidak perlu diragukan lagi. Ini juga sekaligus menegaskan bahwa UMK termasuk Koperasi merupakan sektor penting yang harus dibangun dan dikembangkan daerah dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Namun demikian untuk meningkatkan peran Koperasi dan UMK ini ternyata masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal seperti misalnya antara lain : (1) Iklim usaha yang belum sepenuhnya kondusif, (2) Terbatasnya sarana dan prasarana usaha, (3) Terbatasnya akses pasar, (4) Produk UMK yang sifat lifetime-nya pendek, dan (5) Implikasi globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Sedangkan yang bersifat internal antara lain adalah : (1) Kondisi obyektif SDM pelaku koperasi dan UMK yang masih rendah dan terbatas, (2) Manajemen yang tradisional, (3) Kurangnya permodalan, (4) Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar.

Mengingat peran yang strategis koperasi dan UMK dalam perekonomian nasional maka, membangun UMK dan Koperasi yang tangguh harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan perekonomian Indonesia dalam rangka mencapai tujuan nasional. Koperasi dan UMK menempati posisi strategis untuk mempercepat perubahan struktural dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai wadah kegiatan usaha bersama bagi produsen maupun konsumen, koperasi diharapkan berperan dalam meningkatkan posisi tawar dan efisiensi ekonomi rakyat, sekaligus turut memperbaiki kondisi persaingan usaha di pasar melalui dampak eksternalitas positif yang ditimbulkannya. Sementara itu Koperasi dan UMK berperan dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi serta memeratakan peningkatan pendapatan. Bersamaan dengan itu adalah meningkatnya daya saing dan daya tahan ekonomi nasional.

3. Implementasi UU No. 39 tentang Kementerian Negara dalam rangka Pemberdayaan Koperasi dan UMKM

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 9/2005, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah dan menjalankan fungsi : 1) perumusan kebijakan nasional di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah; 2) koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah; 3) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; 4) pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; 5) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidarig tugas dan fungsinya kepada Presiden; dan 6) menyelenggarakan fungsi teknis pelaksanaan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, berdasarkan Perpres No. 62/2005.

Dalam menjalankan fungsi perumusan kebijakan nasional di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah menghasilkan beberapa rumusan kebijkan perundang-undangan seperti RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang kini sudah menjadi UU No. 20/2008 tentang UMKM, serta telah menyiapkan RUU Perkoperasian yang saat ini sudah diagendakan dalam Prolegnas Tahun 2009. Namun dalam melaksanakan koordinasi kebijakan dan program pemberdayaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengalami beberapa kendala, antara lain adalah:

1. Peraturan Menteri yang dibuat Kementerian Negara Koperasi dan UKM tidak dapat mengikat beberapa pihak terkait untuk tunduk dalam kaitannya terhadap pemberdayaan koperasi dan UKM

2. Kementerian Negara Koperasi tidak dapat melaksanakan koordinasi kebijakan dan program pemberdayaan yang sinergis dalam rangka pemberdayaan Koperasi dan UMKM dengan instansi terkait.

Saat ini berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Kementerian yang menangani urusan Koperasi dan UMKM bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan fungsi : (1) perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidangnya; (2) Koordinasi dan singkronisasi pelaksanaan kebijakan dibidangnya; (3) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; (4) Pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidangnya. Dengan demikian ruang gerak Kementerian Negara Koperasi dan UKM semakin terbatas, tidal lagi melaksanakan program-program yang selama ini dilakukan dalam rangka pemberdayaan Koperasi dan UKM.

Beberapa pihak menganggap UU No. 39/2008 prematur karena tidak singkron secara vertikal dengan UUD 1945 dan secara horizontal UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian dan UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Koperasi Koperasi dalam pasal 33 UUD 45 memang tidak ditunjukan secara eksplisit, namun asas kekeluargaan filosofinya menunjuk pada koperasi. Berdasarkan Pasal 9 dan Pasal 60 UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, pemerintah melaksanakan urusan sebagai berikut : 1) pemberian badan hukum dan pengesahan akta pendirian koperasi; 2) menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi; dan 3) memberikan bimbingan, kemudahan dan perlindungan kepada koperasi, dengan demikian Kementerian Negara Koperasi dan UKM merupakan kementerian teknis yang menangani pemberdayaan koperasi secara nasional walaupun saat ini melalui UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah urusan koperasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota telah terdesentralisasi. Sedangkan dalam pemberdayaan usaha mikro belum diakomodir dalam UU No. 39/2008, hanya pelaksanaan bimbingan/pembinaan di daerah dan kegiatan teknis berskala nasional bagi Usaha Kecil dan Menengah yang dilaksanakan secara sektoral oleh Kementerian Teknis, yang menangani urusan pemerintahan yang tersurat dalam UUD’45. Padahal UU No. No. 20/2008 telah mengamanatkan keberadaan Usaha Mikro yang jumlahnya terbesar (98,90%) dari seluruh pelaku usaha nasional.

Dengan mengacu pada Pasal 8 UU No. 39/2008 memang mempersempit ruang gerak Kementerian Negara Koperasi dan UKM namun yang tidak dapat lagi melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan kementerian di daerah dan pelaksanaan kegiatan teknis berskala nasional, namun dengan mengacu pada Pasal 18 UU No. 39/2008, maka Presiden mempunyai hak priogratif untuk mengubah Kementerian sebagaimana dimaksud, dengan mepertimbangkan :

a. efisiensi dan efektivitas;

b. perubahan dan/atau perkembangan tugas dan fungsi;

c. cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;

d. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas;

e. peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah;

f. kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri; dan/atau

g. kebutuhan penyesuaian peristilahan yangberkembang.

Berdasarkan kewenangan tersebut maka perubahan Kementerian Negara Koperasi dan UKM menjadi “Departemen” Koperasi, Usaha Mikro dan Kecil atau menjadi Kementerian Negara yang dapat melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan kementerian di daerah dan pelaksanaan kegiatan teknis berskala nasional dapat dilaksanakan atas kehendak Presiden.

4. Kelayakan Pembentukan Kementerian Negara Koperasi dan UMKM

Berdasarkan UU No. 39/2008 dari aspek kelembagaan keberadaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM jelas masih ada, hanya terjadi penyederhanaan fungsi kelembagaan. Selama ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM melaksanakan koordinasi dan kegiatan teknis dirubah hanya melaksanakan koordinasi dan singkronisasi kebijakan.

Namun berdasarkan kondisi dan kebutuhan saat ini, maka keberadaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM berdasarkan UU No. 39/2008 perlu disesuaikan atau tambahkan fungsinya untuk tetap menangani fungsi teknis pelaksanaan pemberdayaan dan pengembangan koperasi dan usaha mikro dan kecil, dan bahkan ditingkatkan kedudukannya menjadi lembaga seperti Departemen saat ini dengan pertimbangan sebagai berikut :

(1) Berdasarkan UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, UU No. 22/1999 tentang Otonomi Derah dan UU No. 20/2008 tentang UMKM maka terdapat kebutuhan penanganan fungsi : 1) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi di daerah (pemerintah provinsi) atas urusan perkoperasian secara nasional; dan 2) kebutuhan penanganan urusan usaha mikro. Berdasarkan kebutuhan tersebut dan berdasarkan pasal 18 UU No. 39/2008, maka keberadaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM dapat berubah atau ditambah fungsinya menyesuaikan dengan kebutuhan, sebagaimana juga saat ini kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi teknis pelaksanaan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah berdasarkan Perpres No. 62/2005.

(2) Untuk keberlanjutan/kesinambungan, keserasian dan keterpaduan pelaksanaan tugas Kementerian Negara Koperasi dan UKM dalam menjalankan pembinaan, sufervisi monitoring dan evaluasi program teknis di daearah secara nasional, maka Fungsi Kementerian Koperasi dan UMK seyogyanya dapat lebih diperluas dan eraborasi lagi sehingga penjabaran dari pasal 5 ayat (3) dan 8 ayat (3) UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara dapat selaras dengan UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian dan UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.



[1] Dibuat Pristiyanto (http://www.google.com/profiles/pristiyanto) dalam rangka sebagai bahan masukan kepada Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM.

[2] Harian Kompas, Presiden : Bantulah dan Kembangkan Koperasi, 13 Juli 2008 hal. 2

[3] Suyono, Haryono, Prof. DR., Pemberdayaan Masyarakat : Mengantar Manusia Mandiri, Demokratis dan Berbudaya, Jakarta, Khanata Pustaka LP3ES, 2006, Hal : 239.

[4] Ibid, Hal : 241

Tidak ada komentar:

Posting Komentar